MEREFLEKSI POTRET KARTINI
Sampai saat ini budaya Patriarki masih langgeng berkembang dalam kancah dunia, tak terkecuali di Indonesia. Budaya ini dapat ditemukan dalam berbagai aspek dan ruang lingkup, seperti dalam ranah ekonomi, sosial, pendidikan, domestik, hukum pun masuk dalam ranah kekuasaanya. Budaya patriarki adalah ranah yang mengangkat/menempatkan laki-laki pada posisi sentral dan menjadikannya sebagai pihak yang superior terhadap lawan jenisnya. Hal ini berimbas sangat besar pada keberlangsungan historis peradaban eksistensi kaum perempuan.Masih segar diingatan kita tentang cerita-cerita nenek moyang yang membatasi ruang gerak para perempuan.
Di Indonesia sendiri jikalau kita berbicara soal ketertindasan perempuan maka akan identik dengan sosok pejuang, sosok pendobrak , sang bunga revolusi kebudayaan kolot, ialah Ibu Kita Kartini. Lahir pada 21 April 1879 di Mayong Kabupaten Jepara, ditahun yang sama saat berkecamuknya Revolusi Perancis.
Yang kemudian hari lahirnya ini dijadikan sebagai momuntum perayaan yang tiap tahunnya tak pernah alpa dalam hari nasional yang wajib untuk dirayakan. Beliau dikenal sebagai pejuang emansipasi.
Merefleksi kehidupan Raden Ajeng Kartini yang merupakan mercusuar perjuangan para perempuan Indonesia adalah satu hal yang wajib agar dapat meneladani apa yang telah disumbangsikannya untuk negeri ini.
Berawal dari budaya patriarki yang menyebabkan kondisi masyarakat Jawa secara umum dan Indonesia secara khusus menjadi sangat tertutup bagi perempuan, yang dimana cita-cita untuk para perempuan hanyalah satu, yaitu menikah dengan orang yang tak dikenalinya. Anak gadis di didik untuk menjadi budak laki-laki. Pendidikan dan kecerdasan di jauhkan, kebebasanpun mustahil. Jika sudah berumur 12 tahun ditutup dalam rumah (dipingit). Dengan kata lain banyak kewajiban yang harus dijalankan tetapi haknya dipreteli sampai tak tersisa.
Kartini...
Itulah namanya, tak mau di sebut dan selalu ingin terlepas dari gelarnya ‘’Raden Ayu/Ajeng’’ Ia sebagai pembuka jalan untuk terbebasnya perempuan dalam kungkungan adat konservatif.
Yang ingin diperjuangankan Kartini ialah mengubah kedudukan kaum perempuan. Agar tujuannya tidak hanya untuk kawin, dengan orang yang tak dikenalinya. Agar menjadi perempuan dapat mengenyam pendidikan yang layak, agar dapat menjadi istri yang cerdas dan dapat mendidik anak-anaknya. Ada pepatah yang mengatakan ‘’mendidik seorang pria adalah mendidik satu orang, tetapi mendidik mendidik perempuan adalah mendidik bangsa’’
Kiranya itu yang dapat mencerminkan cita-cita Kartini.
Hal lain yang para kaum perempuan hari ini perlu teladani dari sosok Kartini ialah kebiasaan beliau untuk menulis. R.A Kartini adalah wanita ningrat yang terlahir membawa bias dari adat istiadat Indonesia patut dijadikan teladan yang tepat. Tokoh wanita yang mengubah emansipasi wanita lewat tulisan-tulisannya dapat mengubah mindset wanita Indonesia yang terbelakang menjai wanita yang berbudi dan menghargai kodratnya. Secara santun ia tuturkan pengalamn indrawinya lewat tulisan. Tulisan yang bergizi yang dapat mengubah pola pikir bangsanya menjadi lebih berbudaya (Komalawati: vi 2012)
Hal yang diperjuangkan Kartini yang dulunya hanya khayalan semata, buaian mimpi disiang hari, kini dengan bebas dapat kita rasakan. Pendidikan, hak untuk bersuara, hak untuk berpolitik, hak untuk memilih pasangan, semua telah mudah kita rasai.
Akan tetapi Potret Kartini Muda hari ini sudah melangkah jauh dari banyak hal yang dapat dilakukannya. Berbagai macam ketidak pedulian, keapatisan yang nyata, kebodohan yang tak dibuat-buat, ketebalan make-up yang tak diimbangi dengan tebalnya ilmu pengetahuan, buku yang dijauhi, merek lipstik yang di koleksi, asmara sebagai pusat kehidupannya, gagdet yang tak diimbangi dengan proporsi kemudharatanya.
Semua jika diramu menjadi satu akan menjadi potret mayoritas Wajah Kartini hari ini.
#SALAMPERUBAHAN
FW
Komentar
Posting Komentar